Beranda | Artikel
TAFWIDH AQIDAH SALAF?
Rabu, 26 November 2008

Secara bahasa tafwidh berasal dari kata ‘fawwadha’ yang artinya menyerahkan urusan (lihat Al-Mu’jam Al-Wasith, 2/705). Sedangkan yang dimaksud dengan istilah tafwidh dalam pembahasan nama dan sifat Allah adalah menyerahkan kandungan makna nama atau sifat Allah kepada Allah (lihat Al-Mujalla fi Syarh Al-Qawa’id Al-Mutsla, hal. 227).

Sebagian orang yang salah paham -di antaranya penyusun Buku Panduan Asistensi Agama Islam Universitas Negeri Yogyakarta akibat mengikuti ucapan Syaikh Hasan Al-Banna, semoga Allah mengampuninya- menganggap bahwa aqidah salaf atau ahlus sunnah wal jama’ah dalam masalah nama dan sifat Allah adalah aqidah tafwidh (menyerahkan makna nama atau sifat Allah kepada Allah, tidak mau memaknainya) (bandingkan fenomena yang muncul di jaman ini dengan fenomena yang muncul di masa silam, periksa Al-Mujalla, hal. 227 dan Al-Irsyad ila Sahih Al-I’tiqad hal. 184-185). Orang-orang yang mengatakan bahwa aqidah salaf adalah tafwidh sebenarnya telah terjerumus dalam perbuatan berdusta, sengaja ataupun tidak… (lihat Al-Irsyad ila Sahih Al-I’tiqad hal. 184). Maka waspadalah wahai saudaraku dari ketergelinciran ini!
Mereka beralasan dengan perkataan Imam Ahmad bin Hanbal. Imam Ahmad rahimahullah pernah mengatakan sebagaimana dituturkan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah, “Imam Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal radhiyallahu ‘anhu mengatakan tentang sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Allah turun ke langit dunia” dan “Allah akan dilihat pada hari kiamat” serta hadits lain yang semacamnya, beliau katakan: “Kami mengimani itu semua. Semuanya kami benarkan tanpa kaifiyah dan tanpa makna. Dan kami tidak menolak sedikitpun darinya…” (lihat Syarh Lum’at Al-I’tiqad Ibnu Utsaimin, hal. 35).

Nah, bukankah Imam Ahmad mengatakan, ”Semuanya (hadits tentang sifat) kami benarkan tanpa kaifiyah dan tanpa makna” ?!! Apakah ini bukan tafwidh namanya ?

Syaikh Shalih Alusy Syaikh -semoga Allah menjaganya- menjawab kesalahpahaman ini (Syarh Lum’at Al-I;tiqad, hal. 7-8), “Adapun hakekat lafazh yang disandarkan kepada beliau ini sebenarnya bersesuaian dengan madzhab mufawwidhah (ahli tafwidh). Sedangkan kaum mufawwidhah adalah orang yang mengatakan bahwa ‘Kami mengimani lafazh saja tanpa maknanya’. Artinya kami menyerahkan makna dan kaifiyah (tata cara) sifat Allah seluruhnya. Ini adalah keyakinan yang batil dan bid’ah yang sangat jelek. Karena kewajiban kita adalah menyerahkan pengetahuan tentang kaifiyah, adapun maknanya jelas tampak. Sebab Al Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab yang jelas dan gamblang. Sehingga apabila ahlus sunnah wal jama’ah beriman dengan lafazh dan makna sekaligus (yaitu meyakini makna yang ditunjukkan sesuai dengan bahasa Arab) lalu bagaimanakah kita akan menafsirkan perkataan Imam Ahmad, yaitu perkataan beliau, “tanpa kaifiyah dan tanpa makna” tersebut ? Hal ini pula yang menyebabkan munculnya kritikan terhadap penulis (Ibnu Qudamah) karena beliau tidak menjelaskan maksud yang diinginkan dibalik ucapan Imam Ahmad.”

Syaikh melanjutkan, “Para ulama menjelaskan bahwa dengan ucapan beliau, ‘tanpa kaifiyah dan tanpa makna’ Imam Ahmad ingin memberikan bantahan bagi dua kelompok orang, yaitu :

Kelompok Pertama; kaum musyabbihah mujassimah (yang menyerupakan Allah dengan makhluk dan menganggap Allah memiliki jisim atau jasad). Beliau ingin membantah mereka dengan ucapan ‘tanpa kaifiyah’ artinya tidak sebagaimana kaifiyah sifat yang ditangkap oleh akal manusia atau kaifiyah sifat yang digambarkan oleh kaum mujassimah atau mumatstsilah terhadap diri Allah.

Kedua, ucapan beliau ‘tanpa makna’ merupakan bantahan bagi kaum mu’aththilah (penolak sifat). Yaitu orang-orang yang menjadikan makna-makna dalil atau nash menyelisihi makna lahiriyah yang secara mudah bisa langsung ditangkap maknanya. Kaum mu’aththilah mengatakan, ”Makna Allah turun adalah turunnya rahmat”. Mereka juga mengatakan, ”Sesungguhnya makna istiwa’ adalah istilaa’/menguasai”. Mereka juga berpendapat bahwa makna ‘rahmat’ adalah iradah/kehendak; yaitu menginginkan kebaikan atau perbuatan baik. Mereka juga berpendapat bahwa makna ‘murka’ adalah keinginan untuk menyiksa, dan berbagai macam takwilan lain yang mereka lakukan.”

Syaikh melanjutkan, “Sehingga dengan ucapan beliau, ‘tanpa kaifiyah’ Imam Ahmad bermaksud menolak kaifiyah yang dianggap oleh kaum mujassimah. Sedangkan dengan ucapan ‘tanpa makna’ beliau bermaksud menolak anggapan makna yang diinginkan oleh kaum mu’aththilah, yaitu makna batil yang muncul disebabkan penyelewengan lafazh yang dilakukan oleh kaum ahli bid’ah tukang takwil. Jadi, ucapan beliau, ‘tanpa kaifiyah dan tanpa makna’ memiliki maksud tersendiri. Dengan ungkapan, ‘tanpa makna’ maksud beliau adalah tanpa makna yang batil yang telah dicetuskan oleh kaum ahli bid’ah akibat takwil mereka terhadap nash atau dalil-dalil yang berbicara tentang sifat-sifat ghaib (yang dimiliki Allah)”.

Demikian uraian Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah. Kiranya penjelasan beliau ini sudah cukup memberikan kecerahan. Penjelasan serupa juga telah diberikan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah dalam kitabnya Fath Rabb Al-Bariyyah, hal. 3-31 dan Syarh Lum’at Al-I’tiqad, hal. 36.

Oleh sebab itu agar tidak salah paham dalam memahami dalil-dalil tentang nama dan sifat Allah, Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah meletakkan sebuah kaidah penting dalam bab ‘Kaidah untuk memahami dalil nama-nama dan sifat-sifat Allah’ yaitu : [Kaidah ketiga] Teks dalil-dalil mengenai sifat-sifat Allah secara lahiriyah diketahui apabila dilihat dari satu sisi, dan tidak diketahui apabila dilihat dari sisi yang lain. Apabila dilihat dari sisi maknanya maka dalil-dalil itu bisa dimengerti artinya. Sedangkan jika dilihat dari sisi kaifiyah/bentuk atau tata caranya maka hal itu tidak dimengerti (lihat Al-Mujalla, hal. 225).

Maka tidaklah mengherankan jika Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah mengatakan -setelah memaparkan aqidah salaf yang sebenarnya-, “Inilah madzhab salaf dalam hal nama-nama dan sifat-sifat Allah yaitu menetapkannya sebagaimana disebutkan di dalam Al-Kitab maupun As-Sunnah tanpa melakukan tasybih/penyerupaan sifat-sifat tersebut dengan sifat-sifat makhluk, dan juga tanpa ta’thil/menolak atau menafikannya. Akan tetapi madzhab salaf dalam hal ini adalah ‘itsbat bi laa tasybih wa tanzih lillah bilaa ta’thil’ (menetapkan tanpa menyerupakan dan menyucikan Allah tanpa menolak nama atau sifat-Nya). Hal ini dijalankan sebagaimana ketentuan firman Allah ta’ala (yang artinya), “Tidak ada yang serupa dengan-Nya dan Dia Maha mendengar lagi Maha melihat.” (QS. Asy-Syura : 11). Maka barangsiapa yang menyandarkan kepada kaum salaf bahwa madzhab mereka adalah tafwidh sesungguhnya dia telah berdusta dan mengada-ada atas nama mereka dan menuduh mereka melakukan sesuatu yang mereka sendiri berlepas diri darinya…” (Al-Irsyad ila Sahih Al-I’tiqad, hal. 187).

Semoga Allah membimbing kita untuk berjalan di atas jalan-Nya dan membebaskan kita dari belenggu taklid buta serta jaring-jaring hizbiyyah yang mencerai-beraikan persatuan umat Islam ini. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.


Artikel asli: http://abumushlih.com/tafwidh-aqidah-salaf.html/